Saya merasa punya hubungan khusus dengan kari atau ‘curry’ dalam bahasa Inggris. Saya menyukai jenis masakan ini sejak kecil, terutama kari ayam buatan mama.
Ketertarikan saya pada kari kembali muncul saat saya berkunjung ke Jepang di tahun 2014. Saat itu, saya ikut program JENESYS 2.0 hasil kerjasama pemerintah Indonesia-Jepang selama 14 hari. Salah satu sajian saat makan malam adalah ‘curry chicken karaage’, ayam fillet dibalut tepung yang disajikan dengan kuah kari. Dan hidangan ini satu-satunya yang punya karakter mirip dengan masakan Indonesia. Selebihnya, hanya rasa kedelai lalu-lalang di lidah. Pengalaman rasa itu tidak lantas membuat saya langsung mencari tahu soal kari Jepang itu.
Selang 1 tahun, tepatnya 2015, saya menonton serial The Emperor’s Cook. Serial ini menceritakan perjalanan seorang koki Kaisar Jepang bernama Tokuzo Akiyama yang diperankan oleh Takeru Satoh. Mungkin akan lebih mudah diingat, kalau Satoh juga memerankan Himura Kenshin di film live action Rurouni Kenshin.

Di serial itu, Akiyama pertama kali mencoba chicken cutlet dari sang mentor, Kamaichi Usami yang diperankan oleh Kaoru Kobayashi. Akiyama juga diuji oleh Usami untuk membuat kare sebelum ia diizinkan dan direkomendasikan untuk belajar memasak di Paris. Scene tersebut jujur membuat saya makin penasaran terhadap sajian kari. Apa yang bisa membuat kare begitu diminati di Jepang? Dan mengapa jadi sajian yang Usami uji dari Akiyama sebelum berangkat ke Paris untuk belajar kuliner. Saya membayangkan kepekaan lidah yang luar biasa untuk mengecap setiap rempah yang ada di dalam kare kemudian mengukur jumlah masing -masing rempah agar tercipta rasa yang seimbang.
Hubungan saya dengan kare makin intens ketika saya memutuskan untuk membuat kuah kare untuk gyoza yang saya jual bersama Stefanno Reinard. “Kayaknya pas nih buat gyoza” begitu pikir saya.
Karena belum pernah makan kare otentik maka saya ambil contoh dari pasta kare kemasan merek S&B. Belakangan saya tahu bahwa S&B adalah salah satu produsen bumbu kare paling terpercaya di Jepang. Beberapa foodies merujuk pada S&B untuk membuat bumbu kare yang serupa. Termasuk saya hahahaha. Hingga saat ini, rumus bumbu kare S&B belum bocor. Baru ada kisaran persentase tiap elemennya saja.
Dalam percobaan ‘imitasi’ bumbu kare Jepang, saya beli semua rempah dalam bentuk bubuk dan basah. Waktu itu saya mencium aroma setiap rempah satu persatu. Ada beberapa yang saya sengaja jilat untuk tahu rasanya. Memang sulit untuk mendapatkan racikan yang pas.
Singkat cerita, lahir lah kare Jepang ala Alif dan dijual di kedai saya sendiri. Ternyata kare Jepang ini mirip dengan saus bumbu sate padang. Tentu saja, karena bagian intinya : kunyit, ketumbar, dan jintan juga ada di bumbu sate padang. Hanya saja, kare menggunakan ‘roux’, tepung terigu yang ‘digoreng’ sebagai pengental, sedangkan sate padang menggunakan tepung maizena.
Soal masakan berempah ternyata memang meninggalkan kesan berbeda bagi tiap orang. Teman saya, Fairuz Rana Ulfah, yang berasal dari Aceh bilang kalau kare buatan saya kurang rempah. Sebaliknya, ibu saya bilang terlalu ‘njamu’ atau masih terlalu terasa rempah mentah. Maka saya simpulkan “Itu soal selera.”
Setelah dengar komentar soal kare Jepang yang saya buat, akhirnya saya putuskan untuk coba kare otentik Jepang. Rasanya perlu untuk merasakan yang otentik sebelum membuat imitasinya, hahaha. Beberapa restoran sudah saya bidik berkat rekomendasi beberapa teman. Sayangnya, harga minimal 60 ribu untuk satu porsi kare Jepang masih terlalu mahal untuk saya waktu itu, tahun 2017. Sampai di awal Februari 2018, akhirnya saya mencoba Cocoichibanya atas rekomendasi teman saya yang bernama Billy Fadhila. Finally.
Saya memesan Curry Omurice with Minced Beef and Bell Pepper. Omeletnya dimasak setengah matang sehingga masih moist di bagian dalam. Tapi rasanya cenderung hambar jadi harus dilahap bersama kuah kare. Untuk saya yang kurang suka dengan telur setengah matang, omelette ini masih oke

.

Kemudian beralih ke pemeran utama, kuah karenya yang dilengkapi dengan potongan paprika dan daging cincang. Saya memesan level mild sehingga warna kuahnya tidak begitu gelap. Semakin tinggi tingkat kepedasan maka semakin gelap warna kuah kare. Bubuk cabai atau cayenne membuat warna kuah kare makin gelap.
Rempahnya ternyata tidak begitu ‘njamu’ tapi potongan kecil paprika sudah cukup mempertegas karakter kuahnya. Biasanya kare jepang sudah menggunakan bubuk paprika dalam racikan bumbunya.
Kuahnya juga pada konsistensi yang pas, tidak terlalu kental. Bahkan saat dingin kuah kare ini tidak lantas menggumpal. Jelas pengentalnya bukan tepung maizena.

Saya juga sempat mencoba Omurice with Mushroom Sauce. Untuk yang satu ini, rasa mushroom saucenya lebih dominan daripada karenya. Namun tetap enak. Jika tidak ingin kehilangan citarasa kare Jepang yang otentik, saya sarankan tidak memesan yang dicampur dengan western sauce yang menggunakan krim seperti Mushroom Sauce ini.

Sebenarnya, saya juga penasaran ingin coba Indian curry. Ada rekomendasi?

One thought on “Kari, Kare, dan Curry

Leave a comment