Sedap Gurih Laksa Betawi

Selasa, 29 Mei 2021.

Pikiran saya sedang sibuk menimbang-nimbang antara laksa betawi atau soto mie untuk makan siang. Masing-masing pilihan sudah punya tujuannya. Laksa Assirot di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk laksa betawi. Sedangkan soto mie, saya menyasar Soto Mie Serodja di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Di rapat pertimbangan antara keduanya, perut saya interupsi. Lapar katanya. 

Keputusan pun diambil cepat dengan memilih Laksa Assirot. Sebenarnya, saya sudah mengincarnya sejak Ramadan tahun ini. Terutama setelah membaca buku Nuran Wibisono yang berjudul “Selama Ada Sambal, Hidup akan Baik-Baik Saja”.Nuran membahas tentang masakan Betawi yang langka, termasuk laksa Betawi. Sebagai perantau di Jakarta selama 3 tahun terakhir, rasanya janggal jika belum mencobanya.

Terakhir kali, warung Laksa Assirot tutup. Sebuah kertas tertempel di dinding warung, tulisannya “Selama Ramadan, tutup”. Kecewa sudah tentu. Maka, kali ini saya tidak ingin kecewa lagi. Motor saya ajak bergegas ke lokasi. Tepatnya di Jalan Assirot, Kebayoran Lama. Ya nama laksa ini berdasarkan lokasi jualnya. Saat sampai, warungnya buka. Beberapa pengunjung bersantap di dalam warung. Saya tahu, siang itu saya akan senang luar biasa. 

Setelah memilih tempat duduk, penjaga warung bertanya,

“Laksa bang?” 

“Iya bang, laksanya satu.” 

“Mau pake apa?”

“Hmmmm,” gumam saya. 

Saya pun beranjak dari tempat duduk menuju etalase lauk pauk tambahan.Mata saya langsung menyambar telur kalio dan semur daging tersaji di bagian atas. 

“Daging semurnya satu. Sama ini, telornya, satu”, jawab saya setengah ragu. Ragu soal rasa dan harga semur daging. Saya sempat mengira telurnya dimasak balado. Tapi bumbunya terlalu kental untuk balado. Maka, saya asumsikan itu kalio. 

Tak lama berselang, laksa betawi pun diantar ke atas meja saya. Penampakannya megah dengan kuah kuning kental berlimpah, bongkahan daging semur, dan telur kalio. Mewah. Tentu saya menyicip kuahnya terlebih dahulu. Dari aroma dan rasa kuah, saya teringat pada botok. Suap demi suap, dan otak masih berpikir dengan sensasi serupa ‘botok’ yang dirasa. Saya yakin ada kelapa parut sangrai disana. Ada aroma laut juga yang saya kira berasal dari teri atau ebi. Saya menerka kaldunya menggunakan kaldu seafood. Taburannya menggunakan kucai dan tauge pendek. Satu lagi yang membuat laksa ini rame di hidung dan lidah, kemangi. Selintas saya teringat laksa Cianjur yang punya karakter serupa tapi kuahnya encer. 

Setiap sesap dan suap, saya nikmati pelan. Selain karena porsinya besar, laksa satu ini memang bikin ribut pikiran. Aroma gurih seafood bercampur gurih santan dan aroma kemangi. Saat otak kalang kabut mengolah informasi dari lidah dan hidung, saya merasa tepat memutuskan untuk makan sendirian. Perlu waktu dan ruang untuk mencern hidangan satu ini pertama kali. Sambil istirahat, sebelum suapan terakhir, saya lempar pandangan ke jendela besar di samping saya. Melamun. 

Melihat pria muda yang juga sedang menyantap laksanya. Sebelumnya, saya sempat melihat ia memesan laksa dengan yakin.

“Laksanya satu bang pake telor ya”, ucapnya mantap, terlihat ia pelanggan rutin.

Pandangan saya pun kembali beralih ke potongan ketupat yang berbasuh kuah laksa dan bumbu kalio telur. Akhirnya, hidangan ini ludes juga. Laksa seperti ini jelas berbeda dengan laksa peranakan. Laksa peranakan punya perawakan mirip kari. Laksa ini berbeda, terlampau kontras. Sekontras suasana hati saya. Waswas saat datang, bahagia dan puas saat pergi dari warung ini.

Omakase di Kaum Jakarta (2)

Seluruh sajian pembuka tuntas meningkatkan nafsu makan. Saya pun masih duduk di meja dapur bergaya bar, dimana semua aktivitas memasak sang koki terlihat di depan mata kepala. Sebuah alat grill besar dengan mudah dan jelas terjangkau mata. Atraksi juggling tusukan sate dari satu bagian griller ke bagian lain griller begitu cekatan.

“Ini jenis daging buat satenya macem-macem dan dia cuma pake satu griller. Berarti rata-rata suhunya sama. Apa di timing ya dia mainnya?” saya mengira-ngira.

“Jadi itu kayak juggling aja mas. Kita ngerasain bagian mana dari griller yang lebih panas atau lebih dingin. Kita pindah-pindahin aja gitu mas pake feeling“, jelas Chef Indra Adri Saputra.

Setelah minum air putih untuk mencuci lidah, main course pertama tiba. Udang beureum bodas dan sate lilit pun tersaji. Katanya, udang beureum bodas adalah favorit dalam jamuan ini. Dua tusuk sate udang tampil menawan berwarna jingga dan putih bercampur coklat muda bekas bakaran. Sedangkan sate lilit berwarna kuning kecoklatan serasi dengan batang sereh berwarna hijau yang menjadi tusukannya.

sate udang dan sate lilit di atas alat bakar kecil
Sate Udang Beureum Bodas dan Sate Lilit Baramundi dengan karakter kuat dari elemen kelapa.

Pertama, saya mencoba sate lilit. Gigitan pertama menyampaikan tekstur yang lembut dan creamy, lalu aroma sereh yang khas tercium melalui belakangan melalui rongga nasofaring. Saya benar-benar kagum dengan penggunaan elemen kelapa. Sate lilit ini membenamkan parutan kelapa sehingga terasa lebih creamy dan gurih.

Kemudian, udang beureum bodas. Warna jingga udang yang mencolok terlapisi minyak kelapa. Awalnya, saya sempat menganggap hidangan ini terlalu greasy. Tapi anggapan itu justru saya sesali ketika mencobanya. Daging udangnya sedikit kenyal saat digigit, pertanda kesegaran udangnya, hingga akhirnya terkoyak dan terkunyah. Melalui hidangan ini, saya akhirnya paham dengan gambaran rasa di serial anime Shokugeki no Souma. Gurih khas laut berbaur dengan gurih dari bawang putih dan minyak kelapa. Belum lagi, hidung digempur dengan aroma bawang putih yang intens. Rasanya meledak di rongga mulut. Saya selalu kagum pada hidangan yang simpel tapi rasanya luar biasa enak. Dan udang beureum bodas adalah contoh paling akurat. Komponen utamanya udang segar, bawang putih, dan minyak kelapa. Ga nyangka minyak kelapa bisa begitu klop dengan bawang putih. Beruntung saya tidak menyeka minyaknya dengan tissue, karena itu sumber kenikmatannya!!!

Sejenak saya tengok Eric yang menikmati sajian serupa. Benar saja, responnya pun sama. “Parah sih ini enak banget. Jahat kamu chef!”, serunya pada Chef Indra. Eric juga menunjukkan rambut tangannya yang berdiri gara-gara sensasi nikmat. Respon tubuh yang unik.


Santap malam berlanjut ke Jamur Maranggi dan Sate Klopo. Kaum Jakarta ingin menyajikan sate maranggi versi plant-based. Batang jamur tiram direbus sekitar 2 menit untuk mendapatkan meat-like texture. Lalu diperas untuk mengurangi kandungan air. Kemudian, batang jamur dibumbui layaknya sate maranggi dengan tambahan olesan kecap Cideng untuk meningkatkan karamelisasi dan mempercantik warna.

Kecap Cideng atau kecap 7 punya konsistensi medium, tidak terlalu manis, gurih, dan sekilas pahit di akhir.

Saya justru terkagum dengan sate kloponya. Jujur saja, ini kali pertama saya mencoba sate Klopo. Chef Indra bilang ini terinspirasi dari Sate Klopo Ondemohen dengan perubahan dari segi tekstur. Sate Klopo di Kaum sengaja dibuat lebih succulent dengan menggunakan daging ayam bagian paha. Dan benar saja, sate klopo ini moist dan empuk dengan aroma bakaran yang pas. Taburan kelapa sangrainya pun wangi berkat kunyit.

Sate Klopo (sebelah kiri) dan Sate Jamur Maranggi (sebelah kanan)

Dan sampai lah pada inti dari jamuan ini, sebuah set main course yang terdiri dari Sate Rembiga, Sate Klatak, Nasi Bakar Hijau, Sambal Gurih, dan Kuah Gulai. Chef Indra menjelaskan asal usul sate klatak sambil beraksi menaburkan garam ke atas arang panas. Memang benar, sebutan klatak berasal dari suara taburan garam pada arang.

Saya belum pernah makan sate klatak jadi saya tertarik untuk mencobanya lebih dulu. Sate kambing ini khas menggunakan tusuk besi. Akibatnya, kematangan merata hingga ke dalam daging tercipta. Dagingnya terasa gurih dengan tekstur cukup empuk sedikit chewy.

“Mas, pake kuah gulainya!”, ujar Jessica mengarahkan. Benar saja, kuah gulainya kaya rempah dan gurih, melengkapi citarasa sate klatak dengan pas.

Sate rembiga punya pengalaman rasa yang kontras dengan sate klatak. Dagingnya sangat lembut, menyerap semua bumbu. Wagyu ternyata. Hidung saya menangkap aroma khas, ternyata aroma terasi. Intens. Saking lembutnya tidak sampai 5 menit untuk menandaskannya.

Satu lagi sajian yang melengkapi trio emas main course malam ini, nasi bakar hijau. Aroma sereh yang dominan menyelinap dari celah sobekan daun pisang yang membungkus. Kombinasi daun pandan dan daun suji menawarkan warna yang bagus. Nasi bakar hijau ini sebenarnya tak mau berbagi pesona dengan lauk pauk lain. Tapi maaf, saya rakus kali ini. Jadi saya gabungkan udang beureum bodas.

Nasi bakar hijau

Setelah main course usai, saya masih menunggu kejutan selanjutnya pada dessert. Sebuah kembang tahu tersaji dengan saus gula kelapa dan crumble. Kembang tahunya plain dengan sekilas rasa pahit. Sedangkan crumblenya sempat membuat saya berpikir dan menerka. Aroma dan rasanya mengantarkan pada memori semprong buatan alm budhe saya dulu di Magelang.

Kembang tahu disajikan dengan saus gula aren dan crumble dari ampas kedelai.
Kembang Tahu dengan saus gula aren dan crumble dari ampas kedelai.

Sajian Santap Malam ditutup dengan Babengka dari Manado dan buah manggis. Ini penutup yang ciamik dengan rasa manis yang pekat. Lagi-lagi permainan tekstur berperan disini. Saya belum pernah makan babengka. Tapi cukup terpikat dengan aroma gula arennya. Terakhir, rasa asam manggis pun tuntas membersihkan lidah.

Dari Santap Malam Seri Sesatean saya benar-benar kagum dengan tentang penggunaan elemen kelapa dalam masakan. Pakar kuliner, Prof. Murdijati Gardjito, menyebut kelapa adalah penciri kuliner Indonesia, dengan teknik pengolahan beragam. Saya sendiri sudah melihat pengolahan kelapa menjadi kelapa gongseng dalam masakan Aceh, kaluku i hole di masakan khas Buton, dan tentu saja di masakan Minang. I’m waiting toward another coco innovation on food.

Omakase di Kaum Jakarta

Telepon genggam saya berdering. Tanda sebuah pesan masuk dari aplikasi Whatsapp. Rupanya dari Jessica Eveline, kolega baru saya dari restoran Kaum Jakarta. Saya sempat menghubunginya bulan Agustus 2020. Ketika itu, saya menawarkan peliputan tentang bahan pangan lokal Indonesia.

“By the way, minggu depan tanggal 27 Agustus free gak? Kami mau undang mas untuk ikut Santap Malam Series Vol. Sesatean?”

Tentu ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Karena Santap Malam Series dari Kaum Jakarta ini sempat menarik perhatian para food writer andal di Jakarta. Senang tentu, tapi juga tegang.

Jessica memang pernah menyinggung untuk mengundang saya ke sesi makan malam itu saat pertama bincang. Tapi tak saya taruh banyak harap disitu. Karena sebagian yang diundang adalah elite di dunia kuliner.

Tapi saya lugas menjawab, “Kosong mbak. Mau dong mbak.” Ini jadi semacam tanda bahwa saya memang sangat ingin mencicipi hidangannya.

Hari Kamis, tanggal 27 Agustus 2020, saya sudah bersiap. Saya janji kepada Jessica untuk datang jam 7 malam tepat. Tapi saya baru beranjak sekitar jam 7 malam lebih 10 menit. Motor Supra X yang sudah lumayan renta saya pecut paksa untuk melaju. Tentu saja geberannya tidak lebih dari 100 km/jam.

Setibanya di lokasi, Jessica menyambut di meja makan. Setidaknya saya tahu dari gelagatnya bahwa dia memaklumi keterlambatan saya. “Macet ya mas?” “Enggak, biasa lah…..deadline.” Alasan klasik para jurnalis atau pekerja media lain.

Ternyata ada satu orang lain bersebelahan dengan saya. Namanya Eric, food vlogger di Instagram yang merambah platform Youtube.

“Ayo mulai aja, buat Eric sama buat Mas Alif”, pinta Jessica pada Chef Indra, salah satu chef yang akan menyajikan omakase di Santap Sedap Malam Series. Ia berpengalaman di restoran Australia. Sudah mendalami masakan Indonesia selama dua tahun terakhir.

Oh iya, sesi makan malam ini bergaya omakase. Saya beberapa kali menonton seri Omakase dari Eater di Youtube. Tapi saya belum paham betul soal omakase. Tentu saja google membantu banyak dalam hal ini. Omakase berarti mempercayakan seluruh menu makanan pada koki. Sang koki bebas menyiapkan hidangan terbaiknya. Sebaliknya, jika kita memesan makanan dari menu disebut okonomi.

Saya duduk di meja dapur bergaya bar. Sebuah menu terpampang di meja, berurutan dari appetizer, main course, lalu dessert. Ada keterangan ringkas di tiap sajian.

Temanya sesatean dari berbagai wilayah di Indonesia. First thing first, ‘rujak nanas’ bakar sebagai pembuka. Interestingly, rujak ini ditampilkan sebagai sate.

Rujak Nanas Bakar

terdiri dari potongan nanas, semangka, dan pepaya yang disiram dengan bumbu rujak, kacang tanah tumbuk, bengkuang cincang, dan kedondong cincang.

Saya masih berpikir dan terkesan dengan tekstur dan rasa bumbu rujaknya sampai sebuah mangkuk kecil berisi trancam tersaji di depan saya. Tampilan sorgum langsung menarik perhatian. Saya beberapa kali menyebut sorgum dalam naskah tapi baru kali ini melihatnya secara langsung. Matang dan siap disantap.

“Ini sorgumnya dari mana ya? dari Solo juga?”, saya penasaran.

“Oh bukan, ini dari Nusa Tenggara Timur”, jawab Pak Pius atau biasa dipanggil Om Bewok, seorang ahli dalam hal meracik minuman.

Trancam

terdiri dari potongan ketimun, kacang panjang, kemangi, kecambah, dan sorgum, lalu disajikan bersama kerupuk puli.

Saya mengamini penjelasan kokinya yang menyebut rasa trancam ini sengaja dibuat lebih refreshing sebagai makanan pembuka. Tidak seperti pada urab, parutan kelapa diberi bumbu lalu disangrai untuk menghilangkan sebagian kadar air dan lemaknya. Jika menggunakan parutan daging kelapa segar, tentu trancam ini akan terasa heavy dari santan yang keluar dari parutan kelapa.

Setelah buah dan sayuran, appetizer berpindah ke protein ikan. Sebuah otak-otak disajikan dengan bumbu kacang. Saya punya preferensi bumbu kacang yang gurih dan kental. Sedangkan bumbu kacang ini punya asam dan manis yang lebih mencolok dari rasa gurih. Meskipun begitu, bumbu kacang ini justru tepat disandingkan dengan otak-otak yang bercitarasa gurih. Otak-otaknya menggunakan ikan kakap putih yang dicampur dengan udang untuk meningkatkan gurihnya. Uniknya, parutan kelapa dicampurkan dalam adonan otak-otak. So, it doubled the savoriness.

Hingga sajian pembuka ketiga, saya merasa sedang dituntun naik anak tangga. Setiap hidangan menunjukkan elevasi kesiapan lidah ke sajian utama.

Latest Posts

COOKING AT HOME

DURING THE CORONA VIRUS PANDEMIC, PEOPLE ARE TOO SCARED TO BUY READY TO EAT MEALS. SOME POEPLE EVEN START TO STOP ORDERING FOOD VIA ONLINE DELIVERY SERVICE LIKE GO-FOOD OR GRAB FOOD TO AVOID VIRUS SPREADING. INSTEAD, PEOPLE  START TO COOK A SIMPLE RECIPES DURING SELF-QUARANTINE. QUARANTINE-RELATED CONTENTS, ESPECIALLY COOKING TIPS, ARE SPREADING ON SOCIAL MEDIA.

I CONSIDERED THIS PHENOMENA AS THE RISE OF HOME COOKING. HAHAHA. OR HOME COOKING AWAKENS.

ACTUALLY, DINING HABIT HAS CHANGED LONG TIME AGO. WITH THE EMERGENCE OF FAST-FOOD AND HAVING NO TIME TO COOK BECAUSE OF WORK, MOST OF PEOPLE LEFT COOKING. AND WE BECAME THE COMMODIFICATION OBJECT OF FOOD INDUSTRY, THEY SUGGEST US, “YOU HAVE NO TIME TO COOK, LET IT TO US.” SO THEN FOOD CORPORATIONS GREW UP, CONGLOMERATING.

AND WE TEND TO BELIEVE COOKING AS COMPLICATED ACTION. I SAID, YES INDEED. IF IT’S NOT COMPLICATED, CHEFS WILL NOT BE PAID FOR THEIR EXPERTISE. AND I REALIZE COOKING COULD BE TERRIFYING FOR SOME PEOPLE.

THE COOKING SHOW ONLY SHOWS US THE BEAUTY AND THE HARMONY OF COOKING. THE BUTTER SIZZLING ON HOT PAN, FINELY CHOPPING ONION, AND THROWING IT INTO PAN, THEN ADDING IN CUTS OF CHICKEN BREAST ALONG WITH OTHER INGREDIENTS. STIR IT A LITTLE OR TOAST IT. AND VOILA. IT’S DONE. AND YOU END IT WITH A STRONG QUOTE LIKE SISCA SOEWITOMO “MUDAH BUKAN MEMBUATNYA” 

BUT IN FACT, THERE ARE MANY THINGS ACCIDENTALLY HAPPEN IN KITCHEN. THAT HOT OIL SPLASHING TOWARDS YOU AND YOURE LIKE INSTINCTIVELY PROTECT YOURSELF WITH PAN LID LIKE YOURE USING A SHIELD. 

OR YOU START CRYING WHILE CHOPPING ONION AND YOU FEEL LIKE YOU WANT GRAB A HELMET AND USE IT. I’LL TELL YOU, IT WONT HELP. BECAUSE IT’S THE AROMA OF ONION’S ROOT THAT MAKES YOU CRY. LET THE ROOT STEM UNCUT, AND YOU’LL BE SAFE. 

OR YOU POUR TOO MUCH PEPPER ON YOUR DISH AND START SNEEZING A LOT 

OR MESSED UP WITH FLOUR, EGG, AND BREADCRUMBS WHEN YOU WANT TO BREAD YOUR CHICKEN. IT’S LIKE GLUEY STICKING AROUND YOUR FINGERS. 

BUT DON’T WORRY IF YOU MESS YOUR COOKING NO ONE WILL SHOUT ON YOUR FACE LIKE GORDON RAMSAY DID. HAHA. NO. IT’S YOUR HOUSE AND YOU ALSO RULE YOUR COOKING. 

BUT NOW, THE PANDEMIC REALLY CHANGES OUR HABIT. PEOPLE ARE LINING UP AT GROCERIES, BUYING INGREDIENTS THEY NEED FOR QUARANTINE. WE ARE FORCED TO COOK AT HOME, BACK TO WHAT MAKES US UNIQUELY HUMAN.

A CREDIBLE FOOD WRITER, MICHAEL POLLAN, SAID  THAT COOKING IS ACTUALLY A SOCIAL ACT. IF WE GO BACK 2 MILLION YEARS AGO, THE DISCOVERY OF FIRE LED HUMAN TO START COOKING. THEY FIRSTLY COOKED MEAT. IT BECAME MORE DELICIOUS, EASIER TO DIGEST, SAFER TO CONSUME. AS SOON AS WE DO THAT, WE HAVE TO LEARN HOW TO SHARE. COOKING GAVE US THE MEAL AND THE MEAL GAVE US CIVILIZATION.

HOME COOKING AND FAMILY MEAL ALSO CRUCIAL FOR FAMILY, WE LEARN A LOT ABOUT MANNERS, GETTING TO KNOW EACH OTHER, TAKING ROLES, SOLVING PROBLEMS, AND STRENGTHEN FAMILY BOND.

BY COOKING WE ALSO KNOW MORE WHAT WE EAT. WE CAN MEASURE SALT AND SUGAR INTAKE. OR DIGGING TO OLD FAMILY RECIPE THAT HAS BEEN ABANDONED FOR YEARS.

AND OF COURSE, COOKING IS AN EFFECTIVE WAY TO KILL TIME ANYWAY. HAHA.  

SO, AFTER THOSE BUSY DAYS IN THE PAST, JUST STAY AT HOME, WORK FROM HOME, AND COOK HEALTHY MEALS A LOT! 

Kelapa Gongseng : Tranformasi Kelapa Selain Santan

Oktober 2018, cahaya terik meliputi kota Bau-Bau. Saya bersama tim Food Story Kompas TV sedang berburu resep Ayam Nasu Wolio, sebuah sajian yang wajib hadir dalam perayaan pekande-kandea. Selain hadir di perayaan, sajian ini juga wajib dihidangkan selama 7 hari berturut-turut selama masa berkabung.

Ayam Nasu Wolio, sajian wajib dalam pesta pekande-kandea di kerajaan Buton. Credit : Kompas TV

Saking pentingnya sajian ini, saya langsung menanyakan resepnya pada keturunan ‘MPR’-nya kerajaan Wolio masa lampau, Petty Hatma. Sepertinya akan banyak bumbu dan rempah terlibat untuk makanan ini.

Ternyata sebaliknya, bumbunya sedikit dan ringkas. Saya takjub. Ayam Nasu Wolio ini hanya butuh bawang merah, bawang putih, dan sereh sebagai bumbu dasar. Selebihnya didukung kaluku i hole, santan, dan belimbing wuluh.

“Apa tuh kaluku i hole?”, heran.

Kaluku i hole ini berupa parutan daging kelapa tua yang dijemur, disangrai dan ditumbuk hingga halus. Kemudian dibungkus dalam plastik. Tunggu saja sampai sehari, dan minyak pun akan muncul. Kaluku i hole atau kelapa sangrai bagaikan jantung untuk masakan ala kerajaan Buton, Sulawesi Tenggara, atau dalam bahasa setempat disebut Nasu Wolio.

Kaluku I Hole siap pakai. Biasa dijajakan oleh pemarut kelapa. Credit : Kompas TV

Saking pentingnya, kelapa sangrai ini dijual oleh setiap penjaja kelapa parut di wilayah Buton. Jika sudah begini, kaluku i hole sudah siap berbaur dengan santan dan memperkuat aroma wangi dan rasanya.

“Kalo ga dijemur dulu, rasa manisnya masih akan tersisa di kelapa sangrainya”, ujar sang penjaja.

Rasa Ayam Nasu Wolio memang se spesial perannya di masyarakat. Meskipun tampilannya mirip opor, tapi rasanya jauh berbeda. Kuahnya gurih ringan berminyak berkat kaluku i hole. Aroma gosong ayam dan kaluku i holenya pun melekat hebat di hidung. Saya masih tidak percaya bumbu yang sedikit itu bisa jadi seenak ini!!!!

Ternyata masakan Aceh juga mengenal bumbu serupa kaluku i hole, namanya kelapa gongseng atau masyarakat setempat menyebutnya bumbu unele. Teksturnya lebih halus dan sedikit berair dibandingkan kaluku i hole.

Kelapa gongseng siap pakai. Credit : Kompas TV

April 2019 lalu, saya mengunjungi keluarga Sidra Muntahari. Seorang keturunan Aceh yang bermukim di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Ia menunjukkan pada saya dan tim Food Story cara memasak Ayam Masak Aceh, sajian spesial khas lebaran.

Ayam masak aceh diramu menggunakan ragam bumbu dan rempah, seperti kebanyakan sajian Aceh, dan disajikan sedikit berkuah. Ada kapulaga, kayu manis, cengkeh, kunyit, bubuk cabai, sereh, dan -yang paling menonjol dari semuanya- ketumbar dan unele atau kelapa gongseng. Saya benar-benar kepincut dengan kombinasi ketumbar dan kelapa gongseng ini, sangat cocok.

Ternyata rendang tumbuak khas Payakumbuh, Sumatera Barat juga menggunakan kelapa gongseng didalam resepnya. Mengutip Reno Andam Suri dalam buku Rendang Traveler, kelapa gongseng dicampur dengan daging cincang dan bumbu, dibentuk bola-bola, kemudian dimasak bersama kuah rendang santan.

Jujur saya takjub saat tahu kelapa sebagai penyedap bisa bertransformasi dalam bentuk ini. Rasanya bisa begitu legit melebihi santan. Ada yang tau masakan Indonesia mana lagi yang pakai kelapa gongseng?

Bingung Mencari Bumbu Hitam di Surabaya

Malam hari di Jakarta, nasi bebek khas Madura mudah ditemukan. Sajian yang dijajakan di kaki lima ini kerap mencantumkan embel-embel yang terlampau menggiurkan, “bumbu hitam”. Sepiring nasi panas bersama bebek goreng garing disiram bumbu berminyak dengan warna coklat kehitaman dengan aroma ketumbar yang khas….ah, biarkan saya meniru ucapan Gordon Ramsay, to die for!!!

Bumbu hitam ini jadi ciri khas nasi bebek yang dijajakan di Jakarta. Tapi kenyataan ini berbeda dengan daerah asal nasi bebek, Madura.

Agustus 2018 lalu, saya mengunjungi Surabaya dan mampir ke Bebek Tugu Pahlawan. Dan bumbu hitam yang agung ini tidak ada disana! Yang muncul justru mangkuk kecil berisi kaldu berwarna kuning pucat, sari-sari bebek yang gurih.

Kaldu sisa rebusan bebek yang disajikan bersama nasi bebek. Credit : Kompas TV

Mukhlis, anak dari sang pemilik bilang, “Nasi bebek Madura umumnya memang ada dua. Satu yang disajikan dengan kuah kaldu, dan yang lain disajikan dengan bumbu kuning.” Ingat, bumbu kuning ya, bukan bumbu hitam. Kuah kaldu ini bisa dituang ke nasi agar tidak terlalu kering atau dinikmati terpisah.

Bebek goreng Tugu Pahlawan. Credit : Kompas TV

Masih di Surabaya. Saya juga mencoba nasi bebek di Bebek Harissa. Nasi panas dan bebek goreng ditaburi dengan serundeng bumbu. Mana bumbu hitamnya?! Sepertinya saya masih syok dengan perbedaan sajian bebek madura di Jakarta dan Surabaya. Bebek Harissa menyajikan serat daging lembut dengan citarasa ketumbar yang lebih intens.

Belakangan saya mulai paham. Bumbu hitam merupakan sisa bumbu ungkep bebek yang digoreng kembali selama kurang lebih 4 jam hingga pekat.

Klik disini untuk lihat liputan lengkapnya.

https://youtu.be/-W6OaW8prUY

Bincang-Bincang Soal Nyat-Nyat

Rasanya saya belum cukup bekal saat berkunjung ke Bali untuk menjelajahi kuliner khasnya. Banyak informasi yang tumpang tindih di internet soal masakan Bali, terutama soal jenis-jenis bumbu. Saya pikir saya harus bertanya langsung ke pakar kuliner di Bali. Atau akan lebih baik lagi jika bisa menemukan manuskrip tentang masakan Bali. Salah satu masakan Bali yang ingin saya liput adalah Mujair Nyat-Nyat. Sajian ini muncul di salah satu vlog Mark Wiens, seorang food traveller.

Setelah 5 hari berada di Bali untuk meliput bersama program Food Story Kompas TV, belum ada cerita yang menyeluruh, baik soal bumbu atau mujair nyat-nyat. Bahkan I Made Suantika, seorang pengusaha sajian mujair nyat-nyat pun hanya berbagi sedikit soal asal-usul makanan tersebut. Hingga di hari ke-6, saya bertemu dengan I Nyoman Ariani, seorang koki di Swiss-Belhotel Rainforest Sunset Road, Bali, yang akhirnya menjawab rasa penasaran saya soal nyat-nyat.

Ternyata Ariani berasal dari Kintamani, tempat kelahiran be jair nyat nyat. Be jair adalah sebutan orang Bali untuk mujair. “Kami tidak punya ikan tuna, ikan marlin, atau ikan lain yang berasal dari laut. Kami punyanya Danau Batur, dan mujair banyak hidup disana”, begitu kata Ari di sela waktu sarapan. Saat itu restoran hotel sedang dipenuhi turis asal Tiongkok.

Mujair nyat-nyat adalah ikan mujair yang dimasak dengan teknik nyat-nyat atau menyurutkan kandungan cairan dalam bumbunya. Saya mengamini pendapat almarhum Bondan Winarno yang menyebut teknik masak ini sebagai braising, karena bahan baku mengalami proses memasak dengan dry heat dan wet heat. Jadi, pertama, ikan mujair diolah dengan proses dry heat yaitu dengan cara digoreng. Mujair yang sudah digoreng tidak mudah hancur dan citarasanya lebih bagus karena mujair dikenal punya karakter aroma tanah. Proses menggoreng juga menghilangkan amis pada ikan laut. Selanjutnya, mujair masuk ke proses wet heat, dengan cara dimasak perlahan dalam cairan bumbu.

Obrolan semakin menarik saat Ariani menyebutkan tiga jenis bumbu yang biasa digunakan masyarakat Kintamani untuk memasak mujair nyat-nyat. Ketiga bumbu itu adalah base genep atau bumbu komplit, base sunecekuh, dan base tingkih. Penamaan dua jenis base terakhir berdasarkan elemen yang dominan dalam bumbu. Dalam bahasa Bali, sune berarti bawang putih sedangkan cekuh berarti kencur. Maka base sunecekuh didominasi rasa dan aroma bawang putih dan kencur. Bahan lainnya seperti cabai atau kunyit bisa digunakan sehingga base sunecekuh akan berwarna kuning. Jahe dan bawang merah hanya sedikit di bumbu ini. Sedangkan base tingkih sebenarnya adalah base sunecekuh yang ditambah dengan kemiri dalam jumlah dominan. Rasanya akan lebih nutty.

Ternyata teknik nyat-nyat ini tidak hanya untuk mujair, tapi juga bisa untuk ayam, daging, atau seafood.

Elemen penting lain dalam sajian ini adalah minyak kelapa, yang diambil dari santan kelapa segar. Sebenarnya secara umum, masakan bali selalu menggunakan minyak kelapa, karena memiliki aroma yang khas.

Ada dua teknik yang bisa digunakan untuk mengekstrak minyak kelapa. Pertama, rebus santan segar hingga mendidih. Kemudian kecilkan api dan lanjutkan memasak selama tiga hingga empat jam dalam keadaan simmering. Kalau muncul gelembung-gelembung kecil di permukaan santan, maka itu berarti santan sedang dalam kondisi simmering.

Selama proses memasak, minyak kelapa akan terpisah dari endapan santan dan muncul ke permukaan. Untuk mendapatkan 750 mililiter minyak kelapa, dibutuhkan santan dari 4-5 butir kelapa.

Sedangkan pada teknik kedua, santan segar disiram dengan air mendidih. Kemudian, santan didiamkan selama 12 jam dalam panci tertutup dengan suhu ruangan.

“Nah itu teknik kedua, tapi sebenernya kami tidak pakai teknik dingin. Jadi teknik keduanya, air mendidih dituangkan ke santan, kemudian ditutup, biarkan semalaman di suhu ruangan. Besoknya kita lihat diatasnya keliatan minyak. Tapi hasil dari teknik ini, tastenya kurang”, begitu jelas Ariani yang menyukai rasa dan aroma endapan santan dalam minyak kelapa. Ariani menambahkan kunyit dan daun pandan bisa ditambahkan untuk menambah aroma dan warnanya.

Resep Mie Koclok Cirebon

Akhirnya bisa share resep mie koclok padahal masaknya bulan Februari 2018. Masih suka nunggu mood buat nulis resep. Ini resep dari scratch alias dari dasar banget bikin kaldu. Karena ‘kaldu adalah koentji’ untuk mie koclok ini.

Durasi Memasak : 2 jam 30 menit untuk 6-8 porsi

Bumbu Halus :
Bawang Merah 5 siung
Bawang Putih 4 siung
Kemiri 3 biji, disangrai
Ketumbar 1 sdt, disangrai
Jahe 1 ruas jari 2 cm

Bahan lainnya :
Santan segar 500 ml
Tepung terigu 125 gram (bisa diganti tepung maizena atau tepung kanji)
Garam
Merica
Mie telur, sudah direbus
Ayam suwir
Bawang goreng

Bahan Kaldu :
Ayam 1/2 kg
Air 2 liter
Daun salam 2 lembar
Sereh 1 batang memarkan

Cara Membuat :
Didihkan air dalam stockpot.

Masukkan daun salam dan sereh, biarkan aromanya keluar.

Kemudian masukkan daging ayam, biarkan mendidih kembali, kemudian kecilkan api, sehingga hanya buih-buih kecil yg muncul di permukaan air (simmering), masak selama kurang lebih satu jam dalam kondisi stockpot tertutup untuk mendapatkan kaldu ayam.

Setelah 1 jam, keluarkan daging ayam, sereh, dan daun salam dari kaldu. Suwir ayamnya untuk digunakan sebagai topping. Catatan : semakin lama proses merebus, maka akan semakin kental kaldu yang dihasilkan.

Ulek bawang merah, bawang putih, kemiri sangrai, ketumbar, dan jahe. Tambahkan sedikit garam agar mudah saat mengulek bumbu.

Masukkan bumbu halus ke dalam kaldu, masak bumbu selama sekitar 10 menit dengan api sedang.

Kemudian, masukkan santan segar ke dalam kaldu, masak selama 30-60 menit dengan api kecil, aduk secara berkala agar santan tidak pecah.

Sambil menunggu santannya matang, larutkan tepung terigu dengan air. Larutan ini berguna sebagai pengental.

Setelah santan matang, masukkan larutan tepung terigu ke dalam kaldu, aduk merata, kemudian masak kembali sekitar 10 menit.

Bumbui dengan garam dan merica sesuai selera. Dan kaldu kental siap digunakan.

Tata mie telur dan suwiran ayam di mangkuk atau piring, siram dengan kuah kaldu kental, dan taburkan bawang goreng diatasnya. Bisa juga tambahkan telur rebus dan sayuran.
Santap langsung dah.

Kari, Kare, dan Curry

Saya merasa punya hubungan khusus dengan kari atau ‘curry’ dalam bahasa Inggris. Saya menyukai jenis masakan ini sejak kecil, terutama kari ayam buatan mama.
Ketertarikan saya pada kari kembali muncul saat saya berkunjung ke Jepang di tahun 2014. Saat itu, saya ikut program JENESYS 2.0 hasil kerjasama pemerintah Indonesia-Jepang selama 14 hari. Salah satu sajian saat makan malam adalah ‘curry chicken karaage’, ayam fillet dibalut tepung yang disajikan dengan kuah kari. Dan hidangan ini satu-satunya yang punya karakter mirip dengan masakan Indonesia. Selebihnya, hanya rasa kedelai lalu-lalang di lidah. Pengalaman rasa itu tidak lantas membuat saya langsung mencari tahu soal kari Jepang itu.
Selang 1 tahun, tepatnya 2015, saya menonton serial The Emperor’s Cook. Serial ini menceritakan perjalanan seorang koki Kaisar Jepang bernama Tokuzo Akiyama yang diperankan oleh Takeru Satoh. Mungkin akan lebih mudah diingat, kalau Satoh juga memerankan Himura Kenshin di film live action Rurouni Kenshin.

Di serial itu, Akiyama pertama kali mencoba chicken cutlet dari sang mentor, Kamaichi Usami yang diperankan oleh Kaoru Kobayashi. Akiyama juga diuji oleh Usami untuk membuat kare sebelum ia diizinkan dan direkomendasikan untuk belajar memasak di Paris. Scene tersebut jujur membuat saya makin penasaran terhadap sajian kari. Apa yang bisa membuat kare begitu diminati di Jepang? Dan mengapa jadi sajian yang Usami uji dari Akiyama sebelum berangkat ke Paris untuk belajar kuliner. Saya membayangkan kepekaan lidah yang luar biasa untuk mengecap setiap rempah yang ada di dalam kare kemudian mengukur jumlah masing -masing rempah agar tercipta rasa yang seimbang.
Hubungan saya dengan kare makin intens ketika saya memutuskan untuk membuat kuah kare untuk gyoza yang saya jual bersama Stefanno Reinard. “Kayaknya pas nih buat gyoza” begitu pikir saya.
Karena belum pernah makan kare otentik maka saya ambil contoh dari pasta kare kemasan merek S&B. Belakangan saya tahu bahwa S&B adalah salah satu produsen bumbu kare paling terpercaya di Jepang. Beberapa foodies merujuk pada S&B untuk membuat bumbu kare yang serupa. Termasuk saya hahahaha. Hingga saat ini, rumus bumbu kare S&B belum bocor. Baru ada kisaran persentase tiap elemennya saja.
Dalam percobaan ‘imitasi’ bumbu kare Jepang, saya beli semua rempah dalam bentuk bubuk dan basah. Waktu itu saya mencium aroma setiap rempah satu persatu. Ada beberapa yang saya sengaja jilat untuk tahu rasanya. Memang sulit untuk mendapatkan racikan yang pas.
Singkat cerita, lahir lah kare Jepang ala Alif dan dijual di kedai saya sendiri. Ternyata kare Jepang ini mirip dengan saus bumbu sate padang. Tentu saja, karena bagian intinya : kunyit, ketumbar, dan jintan juga ada di bumbu sate padang. Hanya saja, kare menggunakan ‘roux’, tepung terigu yang ‘digoreng’ sebagai pengental, sedangkan sate padang menggunakan tepung maizena.
Soal masakan berempah ternyata memang meninggalkan kesan berbeda bagi tiap orang. Teman saya, Fairuz Rana Ulfah, yang berasal dari Aceh bilang kalau kare buatan saya kurang rempah. Sebaliknya, ibu saya bilang terlalu ‘njamu’ atau masih terlalu terasa rempah mentah. Maka saya simpulkan “Itu soal selera.”
Setelah dengar komentar soal kare Jepang yang saya buat, akhirnya saya putuskan untuk coba kare otentik Jepang. Rasanya perlu untuk merasakan yang otentik sebelum membuat imitasinya, hahaha. Beberapa restoran sudah saya bidik berkat rekomendasi beberapa teman. Sayangnya, harga minimal 60 ribu untuk satu porsi kare Jepang masih terlalu mahal untuk saya waktu itu, tahun 2017. Sampai di awal Februari 2018, akhirnya saya mencoba Cocoichibanya atas rekomendasi teman saya yang bernama Billy Fadhila. Finally.
Saya memesan Curry Omurice with Minced Beef and Bell Pepper. Omeletnya dimasak setengah matang sehingga masih moist di bagian dalam. Tapi rasanya cenderung hambar jadi harus dilahap bersama kuah kare. Untuk saya yang kurang suka dengan telur setengah matang, omelette ini masih oke

.

Kemudian beralih ke pemeran utama, kuah karenya yang dilengkapi dengan potongan paprika dan daging cincang. Saya memesan level mild sehingga warna kuahnya tidak begitu gelap. Semakin tinggi tingkat kepedasan maka semakin gelap warna kuah kare. Bubuk cabai atau cayenne membuat warna kuah kare makin gelap.
Rempahnya ternyata tidak begitu ‘njamu’ tapi potongan kecil paprika sudah cukup mempertegas karakter kuahnya. Biasanya kare jepang sudah menggunakan bubuk paprika dalam racikan bumbunya.
Kuahnya juga pada konsistensi yang pas, tidak terlalu kental. Bahkan saat dingin kuah kare ini tidak lantas menggumpal. Jelas pengentalnya bukan tepung maizena.

Saya juga sempat mencoba Omurice with Mushroom Sauce. Untuk yang satu ini, rasa mushroom saucenya lebih dominan daripada karenya. Namun tetap enak. Jika tidak ingin kehilangan citarasa kare Jepang yang otentik, saya sarankan tidak memesan yang dicampur dengan western sauce yang menggunakan krim seperti Mushroom Sauce ini.

Sebenarnya, saya juga penasaran ingin coba Indian curry. Ada rekomendasi?

Mendamba Makanan Sehat dari Buntut dan Tomat

Ini cerita perjalanan liputan saya bersama tim Food Story Kompas TV di akhir Oktober 2017. Selama peliputan kami menginap di hotel Santika Bandung. Tidak hanya menginap, tapi juga sekaligus meliput hidangan utama di hotel tersebut.

Saya bertemu dengan Chef Dani Bolang, nama aslinya Dani Kurniawan, Executive Chef di Hotel Santika Bandung. Saya sempat bertanya ke Chef Dani soal nama panggilan Bolang. Ternyata panggilan itu muncul karena Dani punya pengalaman berpindah tempat kerja dari hotel ke hotel. Setidaknya di daerah Jawa Barat dan juga pelayaran pesiar.

Saya membicarakan menu di Santika Bandung yang akan diliput oleh Food Story. Pilihan jatuh pada Sop Buntut Tomat. Dani menyebut konsep healthy food untuk menunya tersebut. Menurutnya, tambahan unsur tomat bisa menyeimbangkan kadar lemak dari bahan utama, yaitu buntut atau ekor sapi.

Dani menawarkan untuk mencicipi menu andalannya tersebut. Tentu saya tidak menolak. Semangkuk Sop Buntut Tomat pun hadir di depan saya. Dari aromanya, ada dua yg menonjol, tomat dan pekak atau star anise.

Dari segi tampilan, sop buntut ini didominasi warna merah tomat. Selain itu, irisan bawang putih dan pekak cukup banyak di menu ini. Beberapa orang tidak suka makan bawang putih dalam irisan besar. Tapi saya malah berselera dengan banyaknya irisan bawang putih di hidangan. Nilai pentingnya sama seperti bawang goreng.

Di suapan pertama saya hanya mencoba kuahnya yang cukup kental. Gurih menurut saya. Bahkan terlalu gurih. Bercampur dengan rasa asam segar tomat. Suapan kedua, saya mulai mengambil daging bersama kuahnya. Daging buntutnya sangat lembut dengan aroma daging yang tidak begitu menyengat.

Kemudian saya beralih ke kuah kembali. Kali ini dengan beberapa irisan bawang putih. Saya pribadi jarang memasak dengan irisan bawang putih yang masih kentara. Di menu ini, saya mengira irisan bawang putih tidak ditumis terlebih dahulu tapi langsung dimasukkan ke dalam kaldu.

Saya pun bertanya pada Chef Dani soal teknik memasak Sop Buntut Tomat itu. Pertama yang saya tanyakan adalah buntutnya. Dani menyebutkan bagian terbaik dari buntut adalah di bagian tengah ekor, kira-kira 12 cm dari bagian pangkal ekor.

Selain itu, ekor yang dipilih berkualitas premium sehingga daging mudah lunak. Ternyata memasak daging menggunakan presto tidak selalu baik karena citarasa daging akan hilang. Teknik paling baik adalah merebusnya perlahan menggunakan api kecil dalam kondisi simmer hingga lunak dan citarasa daging tidak hilang.

Dani juga menyarankan untuk memasukkan rempah ke dalam air mendidih sebelum memasukkan daging atau ekor sapi. Aroma rempah yang sudah direbus akan menghilangkan amis dari daging. Aroma rempah tidak akan berfungsi jika masuk setelah daging.

Menurut Dani irisan bawang putih yang agak tebal mengadopsi dari gaya memasak Eropa. Bawang putih disebut menambah citarasa dan baik untuk kesehatan.

Tapi sayangnya saya tidak begitu suka dengan pekak yang begitu kentara. Apalagi jika pecahan pekak terkunyah…sangat ‘njamu’. Saya cenderung akan menyingkirkan pecahan pekaknya sebelum dihidangkan.

But it could be the best ox tail soup I ever taste so far.