Omakase di Kaum Jakarta (2)

Seluruh sajian pembuka tuntas meningkatkan nafsu makan. Saya pun masih duduk di meja dapur bergaya bar, dimana semua aktivitas memasak sang koki terlihat di depan mata kepala. Sebuah alat grill besar dengan mudah dan jelas terjangkau mata. Atraksi juggling tusukan sate dari satu bagian griller ke bagian lain griller begitu cekatan.

“Ini jenis daging buat satenya macem-macem dan dia cuma pake satu griller. Berarti rata-rata suhunya sama. Apa di timing ya dia mainnya?” saya mengira-ngira.

“Jadi itu kayak juggling aja mas. Kita ngerasain bagian mana dari griller yang lebih panas atau lebih dingin. Kita pindah-pindahin aja gitu mas pake feeling“, jelas Chef Indra Adri Saputra.

Setelah minum air putih untuk mencuci lidah, main course pertama tiba. Udang beureum bodas dan sate lilit pun tersaji. Katanya, udang beureum bodas adalah favorit dalam jamuan ini. Dua tusuk sate udang tampil menawan berwarna jingga dan putih bercampur coklat muda bekas bakaran. Sedangkan sate lilit berwarna kuning kecoklatan serasi dengan batang sereh berwarna hijau yang menjadi tusukannya.

sate udang dan sate lilit di atas alat bakar kecil
Sate Udang Beureum Bodas dan Sate Lilit Baramundi dengan karakter kuat dari elemen kelapa.

Pertama, saya mencoba sate lilit. Gigitan pertama menyampaikan tekstur yang lembut dan creamy, lalu aroma sereh yang khas tercium melalui belakangan melalui rongga nasofaring. Saya benar-benar kagum dengan penggunaan elemen kelapa. Sate lilit ini membenamkan parutan kelapa sehingga terasa lebih creamy dan gurih.

Kemudian, udang beureum bodas. Warna jingga udang yang mencolok terlapisi minyak kelapa. Awalnya, saya sempat menganggap hidangan ini terlalu greasy. Tapi anggapan itu justru saya sesali ketika mencobanya. Daging udangnya sedikit kenyal saat digigit, pertanda kesegaran udangnya, hingga akhirnya terkoyak dan terkunyah. Melalui hidangan ini, saya akhirnya paham dengan gambaran rasa di serial anime Shokugeki no Souma. Gurih khas laut berbaur dengan gurih dari bawang putih dan minyak kelapa. Belum lagi, hidung digempur dengan aroma bawang putih yang intens. Rasanya meledak di rongga mulut. Saya selalu kagum pada hidangan yang simpel tapi rasanya luar biasa enak. Dan udang beureum bodas adalah contoh paling akurat. Komponen utamanya udang segar, bawang putih, dan minyak kelapa. Ga nyangka minyak kelapa bisa begitu klop dengan bawang putih. Beruntung saya tidak menyeka minyaknya dengan tissue, karena itu sumber kenikmatannya!!!

Sejenak saya tengok Eric yang menikmati sajian serupa. Benar saja, responnya pun sama. “Parah sih ini enak banget. Jahat kamu chef!”, serunya pada Chef Indra. Eric juga menunjukkan rambut tangannya yang berdiri gara-gara sensasi nikmat. Respon tubuh yang unik.


Santap malam berlanjut ke Jamur Maranggi dan Sate Klopo. Kaum Jakarta ingin menyajikan sate maranggi versi plant-based. Batang jamur tiram direbus sekitar 2 menit untuk mendapatkan meat-like texture. Lalu diperas untuk mengurangi kandungan air. Kemudian, batang jamur dibumbui layaknya sate maranggi dengan tambahan olesan kecap Cideng untuk meningkatkan karamelisasi dan mempercantik warna.

Kecap Cideng atau kecap 7 punya konsistensi medium, tidak terlalu manis, gurih, dan sekilas pahit di akhir.

Saya justru terkagum dengan sate kloponya. Jujur saja, ini kali pertama saya mencoba sate Klopo. Chef Indra bilang ini terinspirasi dari Sate Klopo Ondemohen dengan perubahan dari segi tekstur. Sate Klopo di Kaum sengaja dibuat lebih succulent dengan menggunakan daging ayam bagian paha. Dan benar saja, sate klopo ini moist dan empuk dengan aroma bakaran yang pas. Taburan kelapa sangrainya pun wangi berkat kunyit.

Sate Klopo (sebelah kiri) dan Sate Jamur Maranggi (sebelah kanan)

Dan sampai lah pada inti dari jamuan ini, sebuah set main course yang terdiri dari Sate Rembiga, Sate Klatak, Nasi Bakar Hijau, Sambal Gurih, dan Kuah Gulai. Chef Indra menjelaskan asal usul sate klatak sambil beraksi menaburkan garam ke atas arang panas. Memang benar, sebutan klatak berasal dari suara taburan garam pada arang.

Saya belum pernah makan sate klatak jadi saya tertarik untuk mencobanya lebih dulu. Sate kambing ini khas menggunakan tusuk besi. Akibatnya, kematangan merata hingga ke dalam daging tercipta. Dagingnya terasa gurih dengan tekstur cukup empuk sedikit chewy.

“Mas, pake kuah gulainya!”, ujar Jessica mengarahkan. Benar saja, kuah gulainya kaya rempah dan gurih, melengkapi citarasa sate klatak dengan pas.

Sate rembiga punya pengalaman rasa yang kontras dengan sate klatak. Dagingnya sangat lembut, menyerap semua bumbu. Wagyu ternyata. Hidung saya menangkap aroma khas, ternyata aroma terasi. Intens. Saking lembutnya tidak sampai 5 menit untuk menandaskannya.

Satu lagi sajian yang melengkapi trio emas main course malam ini, nasi bakar hijau. Aroma sereh yang dominan menyelinap dari celah sobekan daun pisang yang membungkus. Kombinasi daun pandan dan daun suji menawarkan warna yang bagus. Nasi bakar hijau ini sebenarnya tak mau berbagi pesona dengan lauk pauk lain. Tapi maaf, saya rakus kali ini. Jadi saya gabungkan udang beureum bodas.

Nasi bakar hijau

Setelah main course usai, saya masih menunggu kejutan selanjutnya pada dessert. Sebuah kembang tahu tersaji dengan saus gula kelapa dan crumble. Kembang tahunya plain dengan sekilas rasa pahit. Sedangkan crumblenya sempat membuat saya berpikir dan menerka. Aroma dan rasanya mengantarkan pada memori semprong buatan alm budhe saya dulu di Magelang.

Kembang tahu disajikan dengan saus gula aren dan crumble dari ampas kedelai.
Kembang Tahu dengan saus gula aren dan crumble dari ampas kedelai.

Sajian Santap Malam ditutup dengan Babengka dari Manado dan buah manggis. Ini penutup yang ciamik dengan rasa manis yang pekat. Lagi-lagi permainan tekstur berperan disini. Saya belum pernah makan babengka. Tapi cukup terpikat dengan aroma gula arennya. Terakhir, rasa asam manggis pun tuntas membersihkan lidah.

Dari Santap Malam Seri Sesatean saya benar-benar kagum dengan tentang penggunaan elemen kelapa dalam masakan. Pakar kuliner, Prof. Murdijati Gardjito, menyebut kelapa adalah penciri kuliner Indonesia, dengan teknik pengolahan beragam. Saya sendiri sudah melihat pengolahan kelapa menjadi kelapa gongseng dalam masakan Aceh, kaluku i hole di masakan khas Buton, dan tentu saja di masakan Minang. I’m waiting toward another coco innovation on food.

Omakase di Kaum Jakarta

Telepon genggam saya berdering. Tanda sebuah pesan masuk dari aplikasi Whatsapp. Rupanya dari Jessica Eveline, kolega baru saya dari restoran Kaum Jakarta. Saya sempat menghubunginya bulan Agustus 2020. Ketika itu, saya menawarkan peliputan tentang bahan pangan lokal Indonesia.

“By the way, minggu depan tanggal 27 Agustus free gak? Kami mau undang mas untuk ikut Santap Malam Series Vol. Sesatean?”

Tentu ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Karena Santap Malam Series dari Kaum Jakarta ini sempat menarik perhatian para food writer andal di Jakarta. Senang tentu, tapi juga tegang.

Jessica memang pernah menyinggung untuk mengundang saya ke sesi makan malam itu saat pertama bincang. Tapi tak saya taruh banyak harap disitu. Karena sebagian yang diundang adalah elite di dunia kuliner.

Tapi saya lugas menjawab, “Kosong mbak. Mau dong mbak.” Ini jadi semacam tanda bahwa saya memang sangat ingin mencicipi hidangannya.

Hari Kamis, tanggal 27 Agustus 2020, saya sudah bersiap. Saya janji kepada Jessica untuk datang jam 7 malam tepat. Tapi saya baru beranjak sekitar jam 7 malam lebih 10 menit. Motor Supra X yang sudah lumayan renta saya pecut paksa untuk melaju. Tentu saja geberannya tidak lebih dari 100 km/jam.

Setibanya di lokasi, Jessica menyambut di meja makan. Setidaknya saya tahu dari gelagatnya bahwa dia memaklumi keterlambatan saya. “Macet ya mas?” “Enggak, biasa lah…..deadline.” Alasan klasik para jurnalis atau pekerja media lain.

Ternyata ada satu orang lain bersebelahan dengan saya. Namanya Eric, food vlogger di Instagram yang merambah platform Youtube.

“Ayo mulai aja, buat Eric sama buat Mas Alif”, pinta Jessica pada Chef Indra, salah satu chef yang akan menyajikan omakase di Santap Sedap Malam Series. Ia berpengalaman di restoran Australia. Sudah mendalami masakan Indonesia selama dua tahun terakhir.

Oh iya, sesi makan malam ini bergaya omakase. Saya beberapa kali menonton seri Omakase dari Eater di Youtube. Tapi saya belum paham betul soal omakase. Tentu saja google membantu banyak dalam hal ini. Omakase berarti mempercayakan seluruh menu makanan pada koki. Sang koki bebas menyiapkan hidangan terbaiknya. Sebaliknya, jika kita memesan makanan dari menu disebut okonomi.

Saya duduk di meja dapur bergaya bar. Sebuah menu terpampang di meja, berurutan dari appetizer, main course, lalu dessert. Ada keterangan ringkas di tiap sajian.

Temanya sesatean dari berbagai wilayah di Indonesia. First thing first, ‘rujak nanas’ bakar sebagai pembuka. Interestingly, rujak ini ditampilkan sebagai sate.

Rujak Nanas Bakar

terdiri dari potongan nanas, semangka, dan pepaya yang disiram dengan bumbu rujak, kacang tanah tumbuk, bengkuang cincang, dan kedondong cincang.

Saya masih berpikir dan terkesan dengan tekstur dan rasa bumbu rujaknya sampai sebuah mangkuk kecil berisi trancam tersaji di depan saya. Tampilan sorgum langsung menarik perhatian. Saya beberapa kali menyebut sorgum dalam naskah tapi baru kali ini melihatnya secara langsung. Matang dan siap disantap.

“Ini sorgumnya dari mana ya? dari Solo juga?”, saya penasaran.

“Oh bukan, ini dari Nusa Tenggara Timur”, jawab Pak Pius atau biasa dipanggil Om Bewok, seorang ahli dalam hal meracik minuman.

Trancam

terdiri dari potongan ketimun, kacang panjang, kemangi, kecambah, dan sorgum, lalu disajikan bersama kerupuk puli.

Saya mengamini penjelasan kokinya yang menyebut rasa trancam ini sengaja dibuat lebih refreshing sebagai makanan pembuka. Tidak seperti pada urab, parutan kelapa diberi bumbu lalu disangrai untuk menghilangkan sebagian kadar air dan lemaknya. Jika menggunakan parutan daging kelapa segar, tentu trancam ini akan terasa heavy dari santan yang keluar dari parutan kelapa.

Setelah buah dan sayuran, appetizer berpindah ke protein ikan. Sebuah otak-otak disajikan dengan bumbu kacang. Saya punya preferensi bumbu kacang yang gurih dan kental. Sedangkan bumbu kacang ini punya asam dan manis yang lebih mencolok dari rasa gurih. Meskipun begitu, bumbu kacang ini justru tepat disandingkan dengan otak-otak yang bercitarasa gurih. Otak-otaknya menggunakan ikan kakap putih yang dicampur dengan udang untuk meningkatkan gurihnya. Uniknya, parutan kelapa dicampurkan dalam adonan otak-otak. So, it doubled the savoriness.

Hingga sajian pembuka ketiga, saya merasa sedang dituntun naik anak tangga. Setiap hidangan menunjukkan elevasi kesiapan lidah ke sajian utama.

Latest Posts