Selasa, 29 Mei 2021.

Pikiran saya sedang sibuk menimbang-nimbang antara laksa betawi atau soto mie untuk makan siang. Masing-masing pilihan sudah punya tujuannya. Laksa Assirot di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk laksa betawi. Sedangkan soto mie, saya menyasar Soto Mie Serodja di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Di rapat pertimbangan antara keduanya, perut saya interupsi. Lapar katanya. 

Keputusan pun diambil cepat dengan memilih Laksa Assirot. Sebenarnya, saya sudah mengincarnya sejak Ramadan tahun ini. Terutama setelah membaca buku Nuran Wibisono yang berjudul “Selama Ada Sambal, Hidup akan Baik-Baik Saja”.Nuran membahas tentang masakan Betawi yang langka, termasuk laksa Betawi. Sebagai perantau di Jakarta selama 3 tahun terakhir, rasanya janggal jika belum mencobanya.

Terakhir kali, warung Laksa Assirot tutup. Sebuah kertas tertempel di dinding warung, tulisannya “Selama Ramadan, tutup”. Kecewa sudah tentu. Maka, kali ini saya tidak ingin kecewa lagi. Motor saya ajak bergegas ke lokasi. Tepatnya di Jalan Assirot, Kebayoran Lama. Ya nama laksa ini berdasarkan lokasi jualnya. Saat sampai, warungnya buka. Beberapa pengunjung bersantap di dalam warung. Saya tahu, siang itu saya akan senang luar biasa. 

Setelah memilih tempat duduk, penjaga warung bertanya,

“Laksa bang?” 

“Iya bang, laksanya satu.” 

“Mau pake apa?”

“Hmmmm,” gumam saya. 

Saya pun beranjak dari tempat duduk menuju etalase lauk pauk tambahan.Mata saya langsung menyambar telur kalio dan semur daging tersaji di bagian atas. 

“Daging semurnya satu. Sama ini, telornya, satu”, jawab saya setengah ragu. Ragu soal rasa dan harga semur daging. Saya sempat mengira telurnya dimasak balado. Tapi bumbunya terlalu kental untuk balado. Maka, saya asumsikan itu kalio. 

Tak lama berselang, laksa betawi pun diantar ke atas meja saya. Penampakannya megah dengan kuah kuning kental berlimpah, bongkahan daging semur, dan telur kalio. Mewah. Tentu saya menyicip kuahnya terlebih dahulu. Dari aroma dan rasa kuah, saya teringat pada botok. Suap demi suap, dan otak masih berpikir dengan sensasi serupa ‘botok’ yang dirasa. Saya yakin ada kelapa parut sangrai disana. Ada aroma laut juga yang saya kira berasal dari teri atau ebi. Saya menerka kaldunya menggunakan kaldu seafood. Taburannya menggunakan kucai dan tauge pendek. Satu lagi yang membuat laksa ini rame di hidung dan lidah, kemangi. Selintas saya teringat laksa Cianjur yang punya karakter serupa tapi kuahnya encer. 

Setiap sesap dan suap, saya nikmati pelan. Selain karena porsinya besar, laksa satu ini memang bikin ribut pikiran. Aroma gurih seafood bercampur gurih santan dan aroma kemangi. Saat otak kalang kabut mengolah informasi dari lidah dan hidung, saya merasa tepat memutuskan untuk makan sendirian. Perlu waktu dan ruang untuk mencern hidangan satu ini pertama kali. Sambil istirahat, sebelum suapan terakhir, saya lempar pandangan ke jendela besar di samping saya. Melamun. 

Melihat pria muda yang juga sedang menyantap laksanya. Sebelumnya, saya sempat melihat ia memesan laksa dengan yakin.

“Laksanya satu bang pake telor ya”, ucapnya mantap, terlihat ia pelanggan rutin.

Pandangan saya pun kembali beralih ke potongan ketupat yang berbasuh kuah laksa dan bumbu kalio telur. Akhirnya, hidangan ini ludes juga. Laksa seperti ini jelas berbeda dengan laksa peranakan. Laksa peranakan punya perawakan mirip kari. Laksa ini berbeda, terlampau kontras. Sekontras suasana hati saya. Waswas saat datang, bahagia dan puas saat pergi dari warung ini.

Leave a comment