Seluruh sajian pembuka tuntas meningkatkan nafsu makan. Saya pun masih duduk di meja dapur bergaya bar, dimana semua aktivitas memasak sang koki terlihat di depan mata kepala. Sebuah alat grill besar dengan mudah dan jelas terjangkau mata. Atraksi juggling tusukan sate dari satu bagian griller ke bagian lain griller begitu cekatan.

“Ini jenis daging buat satenya macem-macem dan dia cuma pake satu griller. Berarti rata-rata suhunya sama. Apa di timing ya dia mainnya?” saya mengira-ngira.

“Jadi itu kayak juggling aja mas. Kita ngerasain bagian mana dari griller yang lebih panas atau lebih dingin. Kita pindah-pindahin aja gitu mas pake feeling“, jelas Chef Indra Adri Saputra.

Setelah minum air putih untuk mencuci lidah, main course pertama tiba. Udang beureum bodas dan sate lilit pun tersaji. Katanya, udang beureum bodas adalah favorit dalam jamuan ini. Dua tusuk sate udang tampil menawan berwarna jingga dan putih bercampur coklat muda bekas bakaran. Sedangkan sate lilit berwarna kuning kecoklatan serasi dengan batang sereh berwarna hijau yang menjadi tusukannya.

sate udang dan sate lilit di atas alat bakar kecil
Sate Udang Beureum Bodas dan Sate Lilit Baramundi dengan karakter kuat dari elemen kelapa.

Pertama, saya mencoba sate lilit. Gigitan pertama menyampaikan tekstur yang lembut dan creamy, lalu aroma sereh yang khas tercium melalui belakangan melalui rongga nasofaring. Saya benar-benar kagum dengan penggunaan elemen kelapa. Sate lilit ini membenamkan parutan kelapa sehingga terasa lebih creamy dan gurih.

Kemudian, udang beureum bodas. Warna jingga udang yang mencolok terlapisi minyak kelapa. Awalnya, saya sempat menganggap hidangan ini terlalu greasy. Tapi anggapan itu justru saya sesali ketika mencobanya. Daging udangnya sedikit kenyal saat digigit, pertanda kesegaran udangnya, hingga akhirnya terkoyak dan terkunyah. Melalui hidangan ini, saya akhirnya paham dengan gambaran rasa di serial anime Shokugeki no Souma. Gurih khas laut berbaur dengan gurih dari bawang putih dan minyak kelapa. Belum lagi, hidung digempur dengan aroma bawang putih yang intens. Rasanya meledak di rongga mulut. Saya selalu kagum pada hidangan yang simpel tapi rasanya luar biasa enak. Dan udang beureum bodas adalah contoh paling akurat. Komponen utamanya udang segar, bawang putih, dan minyak kelapa. Ga nyangka minyak kelapa bisa begitu klop dengan bawang putih. Beruntung saya tidak menyeka minyaknya dengan tissue, karena itu sumber kenikmatannya!!!

Sejenak saya tengok Eric yang menikmati sajian serupa. Benar saja, responnya pun sama. “Parah sih ini enak banget. Jahat kamu chef!”, serunya pada Chef Indra. Eric juga menunjukkan rambut tangannya yang berdiri gara-gara sensasi nikmat. Respon tubuh yang unik.


Santap malam berlanjut ke Jamur Maranggi dan Sate Klopo. Kaum Jakarta ingin menyajikan sate maranggi versi plant-based. Batang jamur tiram direbus sekitar 2 menit untuk mendapatkan meat-like texture. Lalu diperas untuk mengurangi kandungan air. Kemudian, batang jamur dibumbui layaknya sate maranggi dengan tambahan olesan kecap Cideng untuk meningkatkan karamelisasi dan mempercantik warna.

Kecap Cideng atau kecap 7 punya konsistensi medium, tidak terlalu manis, gurih, dan sekilas pahit di akhir.

Saya justru terkagum dengan sate kloponya. Jujur saja, ini kali pertama saya mencoba sate Klopo. Chef Indra bilang ini terinspirasi dari Sate Klopo Ondemohen dengan perubahan dari segi tekstur. Sate Klopo di Kaum sengaja dibuat lebih succulent dengan menggunakan daging ayam bagian paha. Dan benar saja, sate klopo ini moist dan empuk dengan aroma bakaran yang pas. Taburan kelapa sangrainya pun wangi berkat kunyit.

Sate Klopo (sebelah kiri) dan Sate Jamur Maranggi (sebelah kanan)

Dan sampai lah pada inti dari jamuan ini, sebuah set main course yang terdiri dari Sate Rembiga, Sate Klatak, Nasi Bakar Hijau, Sambal Gurih, dan Kuah Gulai. Chef Indra menjelaskan asal usul sate klatak sambil beraksi menaburkan garam ke atas arang panas. Memang benar, sebutan klatak berasal dari suara taburan garam pada arang.

Saya belum pernah makan sate klatak jadi saya tertarik untuk mencobanya lebih dulu. Sate kambing ini khas menggunakan tusuk besi. Akibatnya, kematangan merata hingga ke dalam daging tercipta. Dagingnya terasa gurih dengan tekstur cukup empuk sedikit chewy.

“Mas, pake kuah gulainya!”, ujar Jessica mengarahkan. Benar saja, kuah gulainya kaya rempah dan gurih, melengkapi citarasa sate klatak dengan pas.

Sate rembiga punya pengalaman rasa yang kontras dengan sate klatak. Dagingnya sangat lembut, menyerap semua bumbu. Wagyu ternyata. Hidung saya menangkap aroma khas, ternyata aroma terasi. Intens. Saking lembutnya tidak sampai 5 menit untuk menandaskannya.

Satu lagi sajian yang melengkapi trio emas main course malam ini, nasi bakar hijau. Aroma sereh yang dominan menyelinap dari celah sobekan daun pisang yang membungkus. Kombinasi daun pandan dan daun suji menawarkan warna yang bagus. Nasi bakar hijau ini sebenarnya tak mau berbagi pesona dengan lauk pauk lain. Tapi maaf, saya rakus kali ini. Jadi saya gabungkan udang beureum bodas.

Nasi bakar hijau

Setelah main course usai, saya masih menunggu kejutan selanjutnya pada dessert. Sebuah kembang tahu tersaji dengan saus gula kelapa dan crumble. Kembang tahunya plain dengan sekilas rasa pahit. Sedangkan crumblenya sempat membuat saya berpikir dan menerka. Aroma dan rasanya mengantarkan pada memori semprong buatan alm budhe saya dulu di Magelang.

Kembang tahu disajikan dengan saus gula aren dan crumble dari ampas kedelai.
Kembang Tahu dengan saus gula aren dan crumble dari ampas kedelai.

Sajian Santap Malam ditutup dengan Babengka dari Manado dan buah manggis. Ini penutup yang ciamik dengan rasa manis yang pekat. Lagi-lagi permainan tekstur berperan disini. Saya belum pernah makan babengka. Tapi cukup terpikat dengan aroma gula arennya. Terakhir, rasa asam manggis pun tuntas membersihkan lidah.

Dari Santap Malam Seri Sesatean saya benar-benar kagum dengan tentang penggunaan elemen kelapa dalam masakan. Pakar kuliner, Prof. Murdijati Gardjito, menyebut kelapa adalah penciri kuliner Indonesia, dengan teknik pengolahan beragam. Saya sendiri sudah melihat pengolahan kelapa menjadi kelapa gongseng dalam masakan Aceh, kaluku i hole di masakan khas Buton, dan tentu saja di masakan Minang. I’m waiting toward another coco innovation on food.

One thought on “Omakase di Kaum Jakarta (2)

Leave a comment